BPJS Kesehatan menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Lewat program ini, masyarakat bisa mendapatkan pengobatan dengan biaya lebih terjangkau melalui fasilitas kesehatan yang bekerja sama. Salah satu sistem pentingnya adalah rujukan berjenjang, mulai dari faskes tingkat pertama hingga rumah sakit.
Belum lama, muncul kabar bahwa ada kebijakan baru terkait daftar penyakit yang tidak bisa langsung dirujuk ke rumah sakit. Total ada 144 penyakit yang harus ditangani terlebih dahulu di faskes tingkat pertama. Artikel ini akan membahas kebijakan tersebut, lengkap dengan dampaknya untuk klinik dan para tenaga medis.
Klarifikasi Kebijakan BPJS Terkait Penolakan Rujukan 144 Penyakit
Hal yang menjadi perdebatan adalah masyarakat tidak bisa lagi berobat ke rumah sakit jika mengidap penyakit yang masuk dalam kelompok 144 daftar tersebut. Pengobatan harus dilakukan di faskes tingkat pertama. Sebenarnya, hal ini tidak sepenuhnya benar.
Pihak BPJS lantas mengklarifikasi bahwa penyakit-penyakit tersebut lebih diutamakan penanganannya di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Rumah sakit tetap bisa menjadi tempat rujukan, tapi harus ada indikasi medis khusus atau keadaan gawat darurat.
Tentu hal ini dilakukan bukan tanpa alasan. BPJS Kesehatan ingin mendorong faskes primer lebih optimal dalam menangani berbagai penyakit umum. Langkah ini juga bertujuan agar rumah sakit tidak kewalahan dengan pasien yang sebenarnya dapat sembuh melalui pengobatan standar di puskesmas atau klinik.
Kebijakan ini sesuai dengan Permenkes Nomor 28 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa FKTP adalah gerbang utama pelayanan kesehatan. Artinya, selama penyakit dapat tertangani dengan fasilitas yang ada, maka sebaiknya tidak perlu melakukan rujukan ke rumah sakit. Hal ini diharapkan membuat layanan kesehatan lebih efisien dan merata.
Dampak Bagi Tenaga Kesehatan Di Faskes Primer
Namun, kebijakan ini sebenarnya memberikan tantangan cukup besar bagi tenaga medis di faskes primer. Dokter umum, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya harus siap menerima lebih banyak pasien dengan kondisi yang beragam.
Beberapa kondisi kesehatan yang dulunya biasa dirujuk langsung ke rumah sakit, sekarang harus diselesaikan sepenuhnya di faskes tempat pasien pertama kali mendapatkan layanan. Tentu saja, situasi ini membuat kebutuhan akan pelatihan dan fasilitas medis jadi semakin penting.
Para tenaga medis memerlukan pelatihan lanjutan agar mampu menangani berbagai penyakit kronis atau akut dengan lebih baik. Waktu konsultasi juga harus diperhatikan agar pelayanan tetap berkualitas, walaupun jumlah pasien terus bertambah.
Di sisi lain, ada keuntungan besar jika tenaga medis mampu menjalankan tugas ini dengan baik. Seiring dengan semakin banyaknya penyakit yang berhasil ditangani di faskes primer, kepercayaan pasien terhadap dokter umum akan meningkat. Peran dokter umum yang menjadi garda depan kesehatan masyarakat pun semakin kuat.
Dampak Bagi Pemilik Klinik atau Pimpinan Faskes
Tidak hanya berdampak bagi tenaga kesehatan, kebijakan ini juga berpengaruh pada pemilik klinik atau pimpinan faskes. Salah satu dampaknya adalah meningkatnya beban operasional klinik. Mereka harus siap menghadapi lebih banyak pasien, dengan kondisi medis yang mungkin lebih kompleks dari biasanya.
Agar bisa memberikan pelayanan yang optimal, faskes primer perlu melakukan investasi. Pengadaan alat pemeriksaan tambahan seperti EKG atau USG sederhana menjadi salah satu prioritas. Selain itu, diperlukan tenaga medis tambahan agar pelayanan tidak menjadi lambat akibat peningkatan jumlah kunjungan pasien.
Meskipun beban operasional bertambah, ada peluang besar yang bisa dimanfaatkan. Klinik bisa berkembang menjadi tempat layanan kesehatan yang lebih lengkap. Dengan begitu, pasien akan merasa lebih tenang saat berobat karena banyak keluhan kesehatannya bisa langsung ditangani di klinik tanpa harus antre untuk dirujuk ke rumah sakit.
Tidak hanya itu, tambahan tanggung jawab ini juga secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya pemasukan klinik, sehingga klinik bisa terus meningkatkan kualitas layanan pada pasien.
Cara Klinik Beradaptasi Dengan Kebijakan Ini
Perubahan kebijakan terkait rujukan dari 144 penyakit oleh BPJS Kesehatan menuai pro dan kontra. Di satu sisi, langkah ini bisa membantu meringankan beban rumah sakit agar lebih fokus pada kasus yang benar-benar serius. Di sisi lain, klinik dan tenaga kesehatan perlu beradaptasi lebih keras agar mampu memenuhi tuntutan pelayanan yang meningkat.
Agar bisa sukses menghadapi kebijakan ini, klinik perlu menyiapkan strategi adaptasi yang tepat. Salah satunya dengan menyediakan layanan tambahan seperti edukasi kesehatan, pemeriksaan rutin, atau layanan rawat jalan ringan.
Selain itu, klinik bisa membangun kolaborasi dengan rumah sakit untuk mempermudah proses rujukan jika memang diperlukan. Kolaborasi ini membuat proses pemeriksaan lanjutan bisa dilakukan dengan lebih cepat dan efisien.
Tak kalah pentingnya, peran serta teknologi seperti penggunaan rekam medis digital, aplikasi rujukan online, dan layanan konsultasi daring yang dapat memudahkan proses administrasi serta pelayanan pasien. Klinik dapat memanfaatkan platform eClinic.id yang menyediakan solusi digital lengkap untuk fasilitas kesehatan modern.
Melalui eClinic, informasi pasien dapat diakses dengan cepat, mengurangi waktu tunggu, dan meningkatkan koordinasi antara dokter dan staf. Dengan begitu, perawatan pasien menjadi lebih efektif dan berkualitas tinggi. Yuk, coba sekarang!